Jumat, 29 Agustus 2014

Anugerah Betawi

Alhamdulillah, hari demi hari kondisi kebudayaan Betawi kian mencorong. Kemencorongan itu tak lepas dari peran masyarakat dan pemerintah daerah. Beneran? Bener dong! Sesungguhnya bagi Kampung Betawi, kemencorongan itu adalah tahun anugerah. Anugerah yang dimaksud tentu terkait dengan kian melambungnya warna Betawi dalam diamika kehidupan kemasyarakatan kota metropolitan Jakarta. Indikasi keterlambungan itu dapat ditelisik dari aktivitas kelembagaan yang ruang lingkup kerjanya pada bidang kebudayaan, khusunya kebudayaan Betawi.
Tahun lalu Kampung Betawi mencatat paling sedikit ada dua kegiatan atau momen penting dan strategis yang dilakoni pemerintan dikukung masyarakat. Meskipun kegiatan lain tidk kalah fenomenalnya. Pertama, diluncurkannya apa yang dinamakan Raperda Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Kedua, digelarnya hajatan bertajuk Kongres Kebudayaan Betawi.
Urusan yang pertama emang mulanya penuh duri. Sebab waktu Raperda sebelum Raperda Betawi, pemerintah belum merencakan sama sekali Raperda Betawi tapi Raperda Kebudayaan Jakarta. Apa maksudnya? Ya, hanya pemerintah dan pengonsep yang mengetahuinya. Makanya ketka diselenggarakan Konsultasi Publik Rancangan Peraturan daerah Tentang Kebudayaan Jakarta,masyarakat Betawi menlak abis. Waktu rapat Raperda Kebudayaan Jakarta, kita-kita dari Betawi, menolak keras, lantaran: kami anggap penyusun Raperda perpikiran terbalik dan tidak logis. Mereka (penyusun) lebih mengutamakan ‘Kebudayaan Jakarta’ — yang dalam hal ini dapat ditafsirkan sebagai seni dan budaya etnik lain yang berkembang di Jakarta. Padahal menurut kami, raperda kebudayaan Betawi harus lebih dulu dirumuskan karena ia merupakan kebudayaan inti etnik kota Jakarta.
Dengan diduluinnye raperda kebudayaan Jakarta dan menomorduakan — entah menomorberapakan Betawi — kami anggap atau berasumsi bahwa para penyusun ‘melecehkan Betawi’. Tertangkap kecurigaan atas mereka, terbersit kecemburuan atau kengerian manakala Kebudayaan Betawi lebih dahulu diperdakan. Hal ini sebenarnya merupakan ‘lagu lama’, telah bergaung sejak era 19080-an dan 1990-an, dan masih diperdengarkan hingga sekarang, bagaimana kaum urban dan birokrat yang mendirikan organisasi kesenian etniknya di Jakarta dan mendapat subsidi dari uang Jakarta, sangat cemburu dan merasa dianaktirikan oleh Pemda. Atau mereka berpendapat Pemda (baca Dinas Parbud, dulu Dinas Kebudayaan) memperlakukan mereka secara tidak adil. Dalam forum-forum rapat resmi, Betawi, kerap menjadi ‘musuh’ bersama organisasi kesenian etnik lain. Persoalan subsidi itulah yang mernyebabkan raperda ini berwarna pelecehan dan bukan tidak mungkin ada unsur kesengajaan meniadakan Betawi.
Padahal kami – masyarakat yang hadir dalam diskusi publik itu – berpendapat, sebagaimana sering dikatakan oleh tetua Betawi “Kalo nanem padi, rumput ikut tumbuh”. Artinya, jika Raperda entang Kebudayaan Betawi diutamakan dengan sendirinya kesenian atau kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta akan ikut maju.
Akhirnya, setelah ‘ribut’ dan menolak, Raperda tentang Kebudayaan Jakarta dihapuskan dan digantikan dengan Raperda Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Betawi. Kita tunggu saja proses selanjutnya, sambil terus mencermatinya dengan seksama.
Urusan kedua, Kongres Kebudayaan Betawi (KKB). Budaya Betawi sebagai budaya lokal kota Jakarta merupakan salah satu sarana dalam mempersatukan masyarakat yang heterogen seperti di kota Jakarta. Kita sama – sama menyadari bahwa masyarakat yang tinggal di kota Jakarta ini terdiri atas berbagai suku bangsa, agama,  ras dan budaya yang di dalam kebhinekaannya bisa saja menimbulkan gesekan. Untuk itu, diperlukan adanya upaya menyadarkan masyarakat untuk saling menghargai dan menghormati kebhinekaan tersebut.
Pelestarian kebudayaan merupakan amanat konstitusi yang dibebankan kepada pemerintah. Sesuai dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1) mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga mendapat amanat untuk pelestarian dan pengembangan budaya lokalnya dalam hal ini Budaya Betawi. Seperti tercermin dari Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 26 ayat 6  yang menyatakan bahwa “Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta”.
Budaya Betawi sebagai budaya lokal yang sudah mengakar dan menjadi identitas masyarakat kota Jakarta, diharapkan mampu menjembatani kebhinekaan budaya yang tumbuh di masyarakat. Lebih jauh dari itu, Budaya Betawi juga diharapkan dapat memperkaya khasanah budaya nasional serta pengembangan karakter bangsa. Seiring dengan era baru globalisasi dan keterbukaan informasi yang di dalamnya termasuk juga serbuan informasi dan budaya asing baik itu budaya lokal dari daerah indoesia sendiri maupun budaya asing dari belahan dunia lain. Secara perlahan Budaya Betawi dikhawatirkan tersisih. Berikutnya,  lambat laun Budaya Betawi tidak lagi tampak sebagai cerminan budaya yang khas  di kota jakarta.
Pengidentifikasian kondisi kekinian tentang 11 aspek kebudayaan, sampai saat ini belum dapat dilakukan secara baik dan komprehensif.  Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta perlu melakukan upaya dalam pelestarian kebudayaan betawi secara sistemik.  Pelestarian Budaya Betawi  perlu ditinjau secara mendalam dari segi perlindungan, pengembangan serta pemanfaatannya terhadap 11 aspek kebudayaan (kesenian, tradisi, kebahasaan, kesastraan, agama, kepurbakalaan, kesejarahan, permuseuman, kenaskahan, kepustakaan, perfilman, ) yang telah di amanatkan oleh Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata nomor 40 dan 42 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan. Oleh karena itu, perlu adanya upaya konkret dari berbagai pihak dalam upaya berperan serta melestarikan Budaya Betawi. Begitulah latar belakang bagaimana kemudian KKB terlaksana, dengan memanggul tujuan mulia, seperti, mengidentifikasi kondisi kebudayaan Betawi saat ini; memberikan saran tentang bentuk perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan aspek kebudayaan Betawi; memberikan alasan dan dukungan ilmiah tentang pentingnya pelestarian dan pengembangan Budaya Betawi; mendorong pemerintah daerah DKI Jakarta untuk menyusun Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah di Provinsi DKI Jakarta.
KKB telah dilaksanakan. Setumpuk rekomendasi telah dikeluarkan. Menjadi tugas selurh masyarakat untuk mengawal rekomendasi itu sampai benar-benar terwujud.
Bahu-membahu dalam mengawal rekomendasi, insya Allah membawa hasil. Tentu kita tidak lupa dengan peribahasa Betawi ”Semut aja kalo sama-sama bisa mindain gunung”. Apapun dapat terlaksana jika ada satu komando dan kompak yang konsisten.