Alhamdulillah, hari demi hari
kondisi kebudayaan Betawi kian mencorong. Kemencorongan itu tak lepas dari
peran masyarakat dan pemerintah daerah. Beneran? Bener dong! Sesungguhnya bagi
Kampung Betawi, kemencorongan itu adalah tahun anugerah. Anugerah yang dimaksud
tentu terkait dengan kian melambungnya warna Betawi dalam diamika kehidupan
kemasyarakatan kota metropolitan Jakarta. Indikasi keterlambungan itu dapat
ditelisik dari aktivitas kelembagaan yang ruang lingkup kerjanya pada bidang
kebudayaan, khusunya kebudayaan Betawi.
Tahun
lalu Kampung Betawi mencatat paling sedikit ada dua kegiatan atau momen penting
dan strategis yang dilakoni pemerintan dikukung masyarakat. Meskipun kegiatan
lain tidk kalah fenomenalnya. Pertama, diluncurkannya apa yang dinamakan
Raperda Tentang Pelestarian Kebudayaan Betawi. Kedua, digelarnya hajatan
bertajuk Kongres Kebudayaan Betawi.
Urusan yang pertama emang mulanya penuh duri. Sebab waktu
Raperda sebelum Raperda Betawi, pemerintah belum merencakan sama sekali Raperda
Betawi tapi Raperda Kebudayaan Jakarta. Apa maksudnya? Ya, hanya pemerintah dan
pengonsep yang mengetahuinya. Makanya ketka diselenggarakan Konsultasi Publik
Rancangan Peraturan daerah Tentang Kebudayaan Jakarta,masyarakat Betawi menlak
abis. Waktu rapat Raperda Kebudayaan Jakarta, kita-kita dari Betawi, menolak
keras, lantaran: kami anggap penyusun Raperda perpikiran terbalik dan tidak
logis. Mereka (penyusun) lebih mengutamakan ‘Kebudayaan Jakarta’ — yang dalam
hal ini dapat ditafsirkan sebagai seni dan budaya etnik lain yang berkembang di
Jakarta. Padahal menurut kami, raperda kebudayaan Betawi harus lebih dulu
dirumuskan karena ia merupakan kebudayaan inti etnik kota Jakarta.
Dengan
diduluinnye raperda kebudayaan Jakarta dan menomorduakan — entah
menomorberapakan Betawi — kami anggap atau berasumsi bahwa para penyusun
‘melecehkan Betawi’. Tertangkap kecurigaan atas mereka, terbersit kecemburuan atau
kengerian manakala Kebudayaan Betawi lebih dahulu diperdakan. Hal ini
sebenarnya merupakan ‘lagu lama’, telah bergaung sejak era 19080-an dan
1990-an, dan masih diperdengarkan hingga sekarang, bagaimana kaum urban dan
birokrat yang mendirikan organisasi kesenian etniknya di Jakarta dan mendapat
subsidi dari uang Jakarta, sangat cemburu dan merasa dianaktirikan oleh Pemda.
Atau mereka berpendapat Pemda (baca Dinas Parbud, dulu Dinas Kebudayaan)
memperlakukan mereka secara tidak adil. Dalam forum-forum rapat resmi, Betawi,
kerap menjadi ‘musuh’ bersama organisasi kesenian etnik lain. Persoalan subsidi
itulah yang mernyebabkan raperda ini berwarna pelecehan dan bukan tidak mungkin
ada unsur kesengajaan meniadakan Betawi.
Padahal
kami – masyarakat yang hadir dalam diskusi publik itu – berpendapat,
sebagaimana sering dikatakan oleh tetua Betawi “Kalo nanem padi, rumput ikut
tumbuh”. Artinya, jika Raperda entang Kebudayaan Betawi diutamakan dengan
sendirinya kesenian atau kebudayaan lain yang berkembang di Jakarta akan ikut
maju.
Akhirnya,
setelah ‘ribut’ dan menolak, Raperda tentang Kebudayaan Jakarta dihapuskan dan
digantikan dengan Raperda Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Betawi. Kita
tunggu saja proses selanjutnya, sambil terus mencermatinya dengan seksama.
Urusan
kedua, Kongres Kebudayaan Betawi (KKB). Budaya Betawi sebagai budaya lokal kota
Jakarta merupakan salah satu sarana dalam mempersatukan masyarakat yang
heterogen seperti di kota Jakarta. Kita sama – sama menyadari bahwa masyarakat
yang tinggal di kota Jakarta ini terdiri atas berbagai suku bangsa,
agama, ras dan budaya yang di dalam kebhinekaannya bisa saja menimbulkan
gesekan. Untuk itu, diperlukan adanya upaya menyadarkan masyarakat untuk saling
menghargai dan menghormati kebhinekaan tersebut.
Pelestarian
kebudayaan merupakan amanat konstitusi yang dibebankan kepada pemerintah.
Sesuai dengan Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 32 ayat (1)
mengamanatkan bahwa “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah
peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan
mengembangkan nilai-nilai budayanya”. Selain itu, Pemerintah Provinsi DKI
Jakarta juga mendapat amanat untuk pelestarian dan pengembangan budaya lokalnya
dalam hal ini Budaya Betawi. Seperti tercermin dari Undang-Undang No. 29 Tahun
2007 tentang Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota
Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 26 ayat 6 yang menyatakan bahwa
“Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat
Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat lain yang ada di daerah
Provinsi DKI Jakarta”.
Budaya
Betawi sebagai budaya lokal yang sudah mengakar dan menjadi identitas
masyarakat kota Jakarta, diharapkan mampu menjembatani kebhinekaan budaya yang
tumbuh di masyarakat. Lebih jauh dari itu, Budaya Betawi juga diharapkan dapat
memperkaya khasanah budaya nasional serta pengembangan karakter bangsa. Seiring
dengan era baru globalisasi dan keterbukaan informasi yang di dalamnya termasuk
juga serbuan informasi dan budaya asing baik itu budaya lokal dari daerah
indoesia sendiri maupun budaya asing dari belahan dunia lain. Secara perlahan
Budaya Betawi dikhawatirkan tersisih. Berikutnya, lambat laun Budaya
Betawi tidak lagi tampak sebagai cerminan budaya yang khas di kota
jakarta.
Pengidentifikasian kondisi
kekinian tentang 11 aspek kebudayaan, sampai saat ini belum dapat dilakukan
secara baik dan komprehensif. Oleh karena itu, Pemerintah Daerah Provinsi
DKI Jakarta perlu melakukan upaya dalam pelestarian kebudayaan betawi secara
sistemik. Pelestarian Budaya Betawi perlu ditinjau secara mendalam
dari segi perlindungan, pengembangan serta pemanfaatannya terhadap 11 aspek
kebudayaan (kesenian, tradisi, kebahasaan, kesastraan, agama, kepurbakalaan, kesejarahan,
permuseuman, kenaskahan, kepustakaan, perfilman, ) yang telah di amanatkan oleh
Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata nomor 40 dan 42 Tahun 2008 tentang Pedoman Pelestarian Kebudayaan.
Oleh karena itu, perlu adanya upaya konkret dari berbagai pihak dalam upaya
berperan serta melestarikan Budaya Betawi. Begitulah latar belakang bagaimana
kemudian KKB terlaksana, dengan memanggul tujuan mulia, seperti,
mengidentifikasi kondisi kebudayaan Betawi saat ini; memberikan saran tentang
bentuk perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan aspek kebudayaan Betawi;
memberikan alasan dan dukungan ilmiah tentang pentingnya pelestarian dan
pengembangan Budaya Betawi; mendorong pemerintah daerah DKI Jakarta untuk menyusun
Peraturan Daerah tentang Rencana Induk Pelestarian Kebudayaan Daerah di
Provinsi DKI Jakarta.
KKB
telah dilaksanakan. Setumpuk rekomendasi telah dikeluarkan. Menjadi tugas
selurh masyarakat untuk mengawal rekomendasi itu sampai benar-benar terwujud.
Bahu-membahu
dalam mengawal rekomendasi, insya Allah membawa hasil. Tentu kita tidak lupa
dengan peribahasa Betawi ”Semut aja kalo sama-sama bisa mindain gunung”. Apapun
dapat terlaksana jika ada satu komando dan kompak yang konsisten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar